Januari 04, 2009

Berbagi Impian


Ini hari ketiga di tahun baru. Matahari masih muncul dari tempat biasanya sama seperti kemarin-kemarin. Berita masih diwarnai seputar libur panjang bagi semua orang, sedikit berita buruk dan berita tentang pemilu yang makin santer saja karena tinggal 3 bulan lagi kurang lebih.

Sudah dua hari ini saya merenungi kata impian. Pertama saya peroleh dari buku yang baru saya dapatkan, kemudian dari film yang baru pagi ini saya tuntaskan, Stardust judulnya. Tentang petualangan bintang. Impian, menarik bukan? Setiap orang pasti punya impian. Ada yang ingin menjadi presiden, artis, politikus, aktivis, dokter, memiliki mobil mewah, keliling dunia dan lainnya. Bahkan orang yang bilang dirinya ingin jadi orang biasa-biasa saja pun sejatinya memiliki impian, impiannya ialah menjadi orang yang biasa-biasa saja.

Memiliki mimpi saya rasa merupakan suatu hal yang manusiawi, malah aneh kalau seseorang tidak memiliki impian. Tapi tentu saja memiliki impian beda dengan pengkhayal. Impian adalah sesuatu yang realistis berada di alam nyata tidak di awang-awang. Ia bagaikan sebuah pohon yang tinggi besar yang puncaknya sampai menggapai langit tapi akarnya tetap menjejak kokoh di bumi.

Menurut kamus bahasa Indonesia mimpi berarti sesuatu yang terikat atau yang dialami dalam keadaan tidur. Sedangkan impian berarti suatu cita-cita atau keinginan yang mustahil atau sulit dicapai. Sebuah definisi yang buruk tentang impian saya pikir, dan mungkin ini penyebabnya kenapa masyarakat kita malas memiliki impian atau kalaupun memiliki impian maka mereka tidak akan berani bermimpi tinggi-tinggi. Takut terjatuh, tersungkur, sakit kemudian mati. Impian mereka hanya sebatas titik aman saja. Asal nanti bisa hidup cukup, istri dan anak serta keluarganya tidak menderita maka itu sudah cukup baginya. Impian yang terlalu biasa untuk hidup yang hanya sekali ini saja.

Kalau dari buku yang saya baca definisi impian menurut kamus hati dan pikiran penulisnya, impian adalah cita-cita atau keinginan yang bisa dicapai dengan faktor-faktor tertentu, seperti usaha, kemauan yang kuat dan doa. Ini etos kerja Islam, agama yang saya anut. Dimana untuk mencapai apa yang diinginkan tidak cukup hanya dengan berkhayal dan memimpikannya, tapi harus disertai dengan usaha seoptimal mungkin serta doa di akhirnya karena hanya atas kehendakNya semua bisa terjadi.

Dan faktor terpenting ialah kepercayaan, bahwa apa yang kita impikan pasti bisa tercapai. Inilah yang membuat kita selalu kuat untuk memperjuangkannya, sekalipun raga ini sudah lelah dan tak sanggup bergerak lagi. Dengan kepercayaan yang kita miliki inilah maka kita akan selalu menemukan jalur-jalur alternatif lain untuk mewujudkan impian ketika satu jalur tertutup. Dan untuk masalah kepercayaan ini ada baiknya kita membaginya dengan orang-orang di sekitar kita, membagi impian kita. Hingga jika suatu saat nanti kita benar-benar terpuruk maka akan ada orang-orang yang akan terus memberikan semangatnya, memberikan kepercayaannya pada kita hingga kita dapat kembali berdiri, mengumpulkan kembali sisa-saisa semangat yang telah berserakan dan menyusunnya kembali.

Di awal tahun ini, lewat blog ini, saya ingin mengkampanyekan impian saya kepada semua orang. Impian ini baru saya rumuskan tahun lalu, saya baru benar-benar mengetahui apa impian saya, tujuan hidup saya tahun lalu. Sebelumnya saya bahkan tak tahu harus kemana hidup saya ini nantinya, just let it flow, kata-kata yang sangat saya benci sampai saat ini. Impian saya berawal dari ketertarikan saya pada kegiatan membaca di awal semester 2, saat kuliah. Saat itu saya keranjingan membaca apa saja, bahkan buku yang tak ada hubungannya dengan jurusan saya saat ini. Dan luar biasa saya mendapatkan banyak hal dari situ. Berbagai pengetahuan baru saya dapatkan dari buku-buku tersebut, tak hanya pengetahuan tekhnik yang menjadi basic saya selama ini. Sejak saat itu saya jadi sering hunting buku, tak terhitung berapa banyak rupiah yang harus saya habiskan untuk buku-buku itu. Setiap kali punya uang maka prioritas saya adalah segera ke toko buku, mencari buku baru untuk dibaca atau disimpan sebagai iinvestasi siap tahu suatu saat perlu. Sampai suatu ketika saya menemukan sebuah buku berjudul ”Apa Yang Kuberi?” buku tentang sastra saya rasa, yang kemudian membuat saya berpikir adalah ketika membuka beberapa lembar awal halaman buku tersebut. Ada pengantar dari Taufik Ismail disitu dia menulis, “generasi 19..(saya lupa) – 2006 adalah generasi nol buku”. Deg,, saya langsung terkesiap begitu membaca kalimat ini, “sedemikian parahnya kah bangsa ini?” pikir saya saat itu.

Kalimat yang kemudian menjadi semakin kuat dalam diri saya bahwa budaya baca sudah hampir hilang di negeri ini. Rakyat ini lebih suka bertanya daripada membaca, lebih suka diberikan jawaban instan yang kadang menyesatkan dibandingkan menggali, meneliti, mencari dan membaca data untuk mencari fakta. Hal yang membuat kita berbeda dengan negara lain, eropa khususnya. Sebagai perbandingan mari kita melihat perbedaan antara turis lokal dengan turis mancanegara. Turis lokal tak peduli apapun pekerjaannya, entah tuan ataupun pelayan maka ketika menjadi turis ia akan minta dilayani dengan layanan sekelas tuan, ia akan meminta ditemani guide yang menerangkan jalan sepanjang waktu. Sedang turis mancanegara ia akan lebih senang membaca petanya untuk mengetahui dimana ia sedang berada, jika ada seseorang yang ingin membantu dengan menawarkan menunjukkan jalan dan terus meracau maka ia akan lebih terlihat terganggu alih-alih terbantu. Maka tak heran jika sering terlihat turis bule yang jalan sendirian di perkampungan daerah jawa tanpa guide. Bentuk kemandirian karena budaya membaca.

Tak hanya di turis, hilangnya budaya baca juga berpengaruh pada pejabat, wakil rakyat dan rakyat. Pejabat yang tak pernah membaca maka ia akan sepenuhnya percaya pada laporan bawahannya yang mengatakan semua beres tanpa ada suatu masalah, ia malas untuk membaca laporan dan membaca kondisi real rakyat saat itu. Wakil rakyatnya pun sama saja. Rakyatnya tak pernah atau tak mau atau tak mampu untuk membeli koran untuk mengetahui berita tentang apa yang telah dilakukan pimpinannya. Mereka lebih senang dibius dengan janji-janji manis, dibuai dengan orasi kharismatis yang sama sekali tak mengenyangkan daripada menemukan fakta sebenarnya, kehilangan fungsi controlling.

Di Batam, keadaannya sama saja. Tak ada fasilitas untuk membudayakan baca, saya jadi sering berprasangka jangan-jangan memang sengaja dibentuk seperti ini agar rakyat tetap bodoh dan bisa terus dibodoh-bodohi. Mudah-mudahan saya salah. Di kota ini tak ada perpustakaan umum tempat semua orang bisa membaca, meminjam dan mendapatkan informasi. Ada kan di Pemko? Sudah disediakan koq. Benar memang tapi sosialisasinya tidak ada kan, lagipula tak layak sepertinya perpustakaan umum ada di daerah pemerintahan kota. Ok lah, tapi kan sudah disediakan perpustakaan keliling? Ada memang, tapi miris rasanya karena ternyata perpustakaan keliling inipun lebih sering parkir di area pemko daripada berkeliling.

Melihat keadaan ini, maka impian saya satu saja dan tak muluk-muluk. “Saya ingin semua orang senang membaca.” Anak-anak jalanan itu yang harusnya masih bersekolah, saya ingin mereka semua senang membaca untuk tambahan pengetahuannya. Perpustakaan, rumah baca harus menjadi tempat singgah mereka saat istirahat. Cukuplah mereka senang membaca, haus akan segala infomasi dan lapar melahap pengetahuan dari buku. Bagi saya tak perlulah mereka sekolah, kalau sekolah memang harus mahal agar bisa tetap berkualitas. Walau pada kenyataannya banyak sekolah mahal yang hanya membuat muridnya menjadi orang-orang yang seragam, tak berkualitas dan mematikan kreatifitas. Bukankah lintang cerdas di sekolah yang dianggap tak berkualitas, murah, Lintang cerdas lebih karena keinginannya yang kuat serta budaya membaca yang ia miliki.

Saya yakin Batam dan Negeri ini bisa maju jika dalam masyarakatnya sudah tertanam budaya membaca. Budaya yang tak hanya cukup disosialisasikan lewat iklan dan kampanye, tapi juga perlu ada tindakan nyata untuk itu.

Ini impian saya. dan anda? Apa impian anda..?

Tidak ada komentar: