Hidup tu cuman sekali, santai aja.
Nikmatin aja hidup ini, ga usah diambil pusing.
Kalo aku jalanin aja hidup ini.
Ini tipikal orang yang paling tidak saya sukai. Bagi mereka hidup itu selalu dihadapi dengan santai. Bagaimanapun sulitnya. Ketidaksukaan yang membuat saya iri teradap orang-orang semacam ini.
Rasa iri yang muncul karena sebuah pertanyaan “mengapa saya tidak bisa hidup sesantai mereka?”. Mengapa hidup saya selalu dipenuhi strategi dan berbagai macam permasalahan. Saya yang tak bisa kongkow bareng temen-temen, jalan ke mall tiap minggu, update lagu terbaru, pacaran dan hal lainnya yang biasa dilakukan anak muda.
Saya kerap disibukkan dengan berbagai persoalan kemasyarakatan yang seharusnya ditangani pemerintah. Kalo hal semacam ini diurus juga oleh kami lantas apa kerja mereka sebenarnya. Belum lagi masalah kebijakan yang selalu mengundang kontroversi, ah makin payah saja pemerintahku ini.
Rasa iri ini kemudian sering menjadi sebuah kekesalan karena ternyata apa yang sudah coba dilakukan untuk perbaikan tak kunjung sesuai dengan apa yang diharapkan. Ah, kadang ingin rasanya kembali seperti dulu. Hidup nyaman tanpa harus direcoki masalah yang sebenarnya bukan masalah saya. Fokus kuliah, IP tinggi, lulus cum laude, kerja di perusahaan asing, gaji dollar dan bentuk kenyamanan lainnya. Tak harus mengurusi aksi-aksi hingga harus meninggalkan kuliah, bakti sosial ke perkampungan yang tertinggal dan kesibukan lainnya.
Memang apa masalahnya kalau mereka yang di perkampungan itu menderita gizi buruk? Toh saya tidak dirugikan sama sekali, siapa mereka?
Memang apa masalahnya kalau saya tidak turun aksi untuk mengkritisi atau sekedar mengingatkan? Sekali lagi saya tak akan rugi.
Hidup saya bisa tetap nyaman sama seperti orang lainnya yang hidup dengan santai itu.
Tapi kemudian kalimat di sebuah buku yang saya baca menyadarkan saya “Leave the comfort zone” kalimat yang membuat saya berpikir bahwa kalau selama ini saya selalu hidup nyaman maka saya tak akan bisa berpikir, berbicara, menulis seperti ini. Kenyamanan hanya akan menyebabkan matinya kreativitas yang saya miliki dan terjebak dalam rutinitas yang monoton.
Bukankah untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu menanam yang baik pula.
Hidup akan terasa datar tanpa tantangan. “kan masalah yang bikin hidup ini indah” ini kalimat yang saya dapatkan dari seorang teman. Ya, saya sepakat dengan statement ini. Anggap saja masalah yang selama ini merecoki kita adalah bukti sayang Alloh SWT kepada kita. Sama seperti perhatian orang tua yang senantiasa dilampiaskan dengan mengkritik, memarahi kita seperti itu pula Alloh memperhatikan kita.
Malah gawat kalau dalam hidup ini saya tak pernah mendapatkan masalah karena artinya Alloh tak lagi peduli dengan saya. Akhirnya saya hanya berharap biarlah masalah –masalah ini tetap senantiasa datang kepada saya.
Dan biarlah rasa iri saya terhadap mereka tetap ada karena itu naluri dasar manusia walaupun ternyata hal itu memang tak banyak manfaatnya.
Nikmatin aja hidup ini, ga usah diambil pusing.
Kalo aku jalanin aja hidup ini.
Ini tipikal orang yang paling tidak saya sukai. Bagi mereka hidup itu selalu dihadapi dengan santai. Bagaimanapun sulitnya. Ketidaksukaan yang membuat saya iri teradap orang-orang semacam ini.
Rasa iri yang muncul karena sebuah pertanyaan “mengapa saya tidak bisa hidup sesantai mereka?”. Mengapa hidup saya selalu dipenuhi strategi dan berbagai macam permasalahan. Saya yang tak bisa kongkow bareng temen-temen, jalan ke mall tiap minggu, update lagu terbaru, pacaran dan hal lainnya yang biasa dilakukan anak muda.
Saya kerap disibukkan dengan berbagai persoalan kemasyarakatan yang seharusnya ditangani pemerintah. Kalo hal semacam ini diurus juga oleh kami lantas apa kerja mereka sebenarnya. Belum lagi masalah kebijakan yang selalu mengundang kontroversi, ah makin payah saja pemerintahku ini.
Rasa iri ini kemudian sering menjadi sebuah kekesalan karena ternyata apa yang sudah coba dilakukan untuk perbaikan tak kunjung sesuai dengan apa yang diharapkan. Ah, kadang ingin rasanya kembali seperti dulu. Hidup nyaman tanpa harus direcoki masalah yang sebenarnya bukan masalah saya. Fokus kuliah, IP tinggi, lulus cum laude, kerja di perusahaan asing, gaji dollar dan bentuk kenyamanan lainnya. Tak harus mengurusi aksi-aksi hingga harus meninggalkan kuliah, bakti sosial ke perkampungan yang tertinggal dan kesibukan lainnya.
Memang apa masalahnya kalau mereka yang di perkampungan itu menderita gizi buruk? Toh saya tidak dirugikan sama sekali, siapa mereka?
Memang apa masalahnya kalau saya tidak turun aksi untuk mengkritisi atau sekedar mengingatkan? Sekali lagi saya tak akan rugi.
Hidup saya bisa tetap nyaman sama seperti orang lainnya yang hidup dengan santai itu.
Tapi kemudian kalimat di sebuah buku yang saya baca menyadarkan saya “Leave the comfort zone” kalimat yang membuat saya berpikir bahwa kalau selama ini saya selalu hidup nyaman maka saya tak akan bisa berpikir, berbicara, menulis seperti ini. Kenyamanan hanya akan menyebabkan matinya kreativitas yang saya miliki dan terjebak dalam rutinitas yang monoton.
Bukankah untuk mendapatkan hasil yang baik, maka perlu menanam yang baik pula.
Hidup akan terasa datar tanpa tantangan. “kan masalah yang bikin hidup ini indah” ini kalimat yang saya dapatkan dari seorang teman. Ya, saya sepakat dengan statement ini. Anggap saja masalah yang selama ini merecoki kita adalah bukti sayang Alloh SWT kepada kita. Sama seperti perhatian orang tua yang senantiasa dilampiaskan dengan mengkritik, memarahi kita seperti itu pula Alloh memperhatikan kita.
Malah gawat kalau dalam hidup ini saya tak pernah mendapatkan masalah karena artinya Alloh tak lagi peduli dengan saya. Akhirnya saya hanya berharap biarlah masalah –masalah ini tetap senantiasa datang kepada saya.
Dan biarlah rasa iri saya terhadap mereka tetap ada karena itu naluri dasar manusia walaupun ternyata hal itu memang tak banyak manfaatnya.